1.Presiden Soekarno
Soekarno
Ir. Soekarno1 (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 dalam umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.
Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali.
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Keluarga Soekarno
Istri Soekarno
* Oetari
* Inggit Garnasih
* Fatmawati
* Hartini
* Ratna Sari Dewi Soekarno (nama asli: Naoko Nemoto)
* Haryati
Putra-putri Soekarno
* Guruh Soekarnoputra
* Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2001-2004
* Guntur Soekarnoputra
* Rachmawati Soekarnoputri
* Sukmawati Soekarnoputri
* Taufan dan Bayu (dari istri Hartini)
* Kartika Sari Dewi Soekarno (dari istri Ratna Sari Dewi Soekarno)
Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
residen Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Sakit hingga meninggal
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.
Peninggalan
Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang bergambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan "kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba".
Penamaan
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo.[3] Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa[rujukan?]; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno[rujukan?]. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah[rujukan?].
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[4]
Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
Presiden Indonesia: ke-1
Masa jabatan : 17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967
Wakil Presiden : Mohammad Hatta
Pendahulu : Tidak ada, jabatan baru
Pengganti : Soeharto
Lahir : 6 Juni 1901 Blitar, Jawa Timur
Meninggal : 21 Juni 1970, jam 07.00 WIB (umur 69) Jakarta
Kebangsaan : Indonesia
Partai politik : PNI
Suami/Istri : Fatmawati Soekarno
2.Presiden Sementara RI. Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (Banten, 28 Februari 1911 - 15 Februari 1989) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.
Perjalanan hidup
Dua kali menjadi menteri keuangan, satu kali menteri kemakmuran, dan satu kali wakil perdana menteri, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta.
"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah," ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.
Namanya sangat populer pada 1950-an. Pada Maret 1950, misalnya, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin. Namun, Syafruddin juga yang membentuk pemerintahan darurat RI, ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. "Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Akhirnya, Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta," tuturnya.
Di masa kecilnya akrab dengan panggilan "Kuding", dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.
Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi -- "Ingin menjadi orang besar," katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia). Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Dari delapan anaknya, Syafruddin mempunyai sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir di Australia sebagai bayi tabung pertama keluarga Indonesia, 1981. Istrinya, Nyonya T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara, wanita kelahiran Aceh, meninggal dunia pada Agustus 2006.
Biodata
* Pendidikan:
1. ELS (1925)
2. MULO,Madiun (1928)
3. AMS, Bandung (1931)
4. Rechtshogeschool, Jakarta (1939)
* Karir:
1. Pegawai Siaran Radio Swasta (1939-1940)
2. Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942)
3. Pegawai Departemen Keuangan Jepang
4. Anggota Badan Pekerja KNIP (1945)
5. Wakil Menteri Keuangan (1946)
6. Menteri Keuangan (1946)
7. Menteri Kemakmuran (1947)
8. Perdana Menteri RI (1948)
9. Ketua Pemerintah Darurat RI (1948)
10. Wakil Perdana Menteri RI (1949)
11. Menteri Keuangan (1949-1950)
12. Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia (1951)
13. Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM) (1958)
14. Pimpinan Masyumi (1960)
15. Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
16. Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984 -- sekarang)
Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau Presiden sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 28 Februari 1911
Meninggal : 15 Februari 1989 (umur 77)
Suami/Istri : T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara
Agama : Islam
3.Presiden RI sementara Assaat
Assaat
Mr. Assaat (18 September 1904–16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
Mr. Assaat dilahirkan di dusun pincuran landai kanagarian Kubang Putih Banuhampu adalah orang sumando Sungai Pua, menikah dengan Roesiah, wanita Sungai Pua di Rumah Gadang Kapalo Koto, yang telah meninggalkan beliau pada 12 Juni 1949, dengan dua orang putera dan seorang puteri.
Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.
Mungkin generasi muda sekarang kurang atau sedikit sekali mengenal perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot demokrat yang tidak kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankan Republik Indonesia. Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar biasa.
Ia tetap berdiri pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah semangat. Sejak ia terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak pernah terlepas dari tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.
Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya selama revolusi sedang berkobar telah dua kali mengadakah hijrah. Pertama di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Karena perjuangan bertambah hangat, demi kelanjutan Revolusi Indonesia, sekitar tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta.
Kemudian pada tahun itu juga KNIP dan Badan Pekerja, pindah ke Purworejo, Jawa Tengah. Ketika situasi Purworejo dianggap kurang aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat inilah Mr. Assaat sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama berselang dia ditunjuk menjadi ketua KNIP beserta Badan Pekerjanya.
Diasingkan
Api revolusi mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 terus menggelora. Belanda dengan kekuatan militernya melancarkan apa yang mereka namakan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di Manumbing di Pulau Bangka.
Rambutnya bertambah putih, karena uban makin melebat sejak diasingkan di Manumbing dan Mr. Assaat mulai memelihara jenggot. Assaat bukan ahli pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan bagi kepentingan perjuangan semua dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh, itulah sebabnya dia disenangi dan disegani oleh kawan dan lawan politiknya.
Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan tentang pribadinya, antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, cukup dengan panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan demikian memang agak canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja saya "Bung Presiden". Di sinilah letak kesederhanaan Assaat sebagai seorang pemimpin.
Hal itu tergambar pula dengan ketaatannya melaksanakan perintah agama, yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan dia termasuk seorang pemimpin yang sangat menghargai waktu, sama halnya dengan Bung Hatta.
Latar belakang Mr. Assaat
Assaat belajar di sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta. Karena jiwanya tidak terpanggil menjadi seorang dokter, ditinggalkannya STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melajutkan studinya ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta.
Ketika menjadi mahasiswa RHS inilah, beliau memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, ialah gerakan pemuda dan politik. Masa saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karir politiknya makin menanjak lalu berhasil menduduki kursi anggota Pengurus Besar dari "Perhimpunan Pemuda Indonesia". Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih mejadi Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda".
Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat memasuki pula gerakan politik "Partai Indonesia" disingkat Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo seperti: Adnan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dll.
Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, akhirnya tercium oleh profesornya dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walaupun setelah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan demikian, gelora pemudanya makin bergejolak, dia putuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar "Meester in de Rechten" (Mr) atau Sarjana Hukum.
Praktek Advokat
Sebagai seorang non kooperator terhadap penjajahan Belanda, sekembalinya ke tanah air di tahun 1939 Mr. Assaat berpraktek sebagai advokat hingga masuknya Jepang tahun [[1942]. Di zaman Jepang dia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
Dalam sejarah perjuangannya ikut menegakkan Republik Proklamasi, beberapa catatan mengenai Assaat ialah: tahun 1946-1949 (Desember) menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Desember 1949 hingga Agustus 1950 menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950 negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.
Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. "Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik Indonesia," ujar Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004.
Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), sampai ia duduk dalam Kabinet Natsir jadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet Natsir bubar, kembali jadi anggota Parlemen, semenjak itulah Assaat kurang terdengar namanya dalam bidang politik.
Pada tahun 1955 namanya muncul lagi di permukaan, sebagai formatur Kabinet bersama Dr. Soekiman Wirjosandjojo dan Mr. Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terhembus angin politik begitu kencang, daerah-daerah kurang puas dengan beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah menyokong Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena formal politis waktu itu, Parlemen menolaknya.
Menentang Komunis
Ketika Demokrasi Terpimpin dicetuskan Soekarno, Assaat sebagai demokrat dan orang Islam menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, tetapi yang ditentangnya politik Bung Karno yang seolah-olah memberi angin pada Partai Komunis Indonesia.
Mr. Assaat saat itu merasakan jiwanya terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah tak lain dari diktator terselubung, ia selalu diintip oleh intel serta orang-orang PKI. Kemudian dengan cara menyamar sebagai orang "akan berbelanja" bersama dengan keluarganya naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan dengan naik becak menuju Stasion Tanah Abang.
Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Dia berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu Sumatra Selatan sudah dibentuk "Dewan Gajah" yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk "Dewan Banteng". Kol. Simbolon mendirikan "Dewan Gajah" di Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual membangun "Dewan Manguni" di Sulawesi.
Akhirnya dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang telah diselimuti oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Assaat yang ketika itu sudah tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.
Upacara Kebesaran
Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr. Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Akhirnya dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani "hidup" di dalam penjara "Demokrasi Terpimpin" selama 4 tahun dari tahun 1962-1966. Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
Perdana menteri pertama Republik Indonesia atau Presiden Sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 18 September 1904 Dusun Pincuran Landai,kanagarian Kubang Putih, Banuhampu, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal : 16 Juni 1976 (umur 71)
Suami/Istri : Roesiah
Agama : Islam
4.Presiden Soeharto
Soeharto
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari 2008 dalam umur 86 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kedua, menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ***** Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15 milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Latar belakang
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton, kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret) hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas sebenarnya serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.
Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Namun atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat . Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di Makassar, di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang .
Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya kelak.
Naik ke kekuasaan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di militer.
Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam pencapaian *****
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Meredam oposisi
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Soeharto turun takhta
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Kasus dugaan korupsi
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[1]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Kasus Perdata
Peninggalan
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente /partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.[Mei 2008]
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun.
Wafat Soeharto
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun jam 13.10 WIB setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14 WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Presiden Indonesia : ke-2
Masa jabatan : 12 Maret 1967 – 21 Mei 1998
Wakil Presiden : Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973),Adam Malik (1978),Umar Wirahadikusumah (1983),Sudharmono (1988),Try Sutrisno (1993),B.J. Habibie (1998)
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : B.J. Habibie
Lahir : 8 Juni 1921 Kemusuk, DI Yogyakarta
Meninggal : 27 Januari 2008, jam 13.10 WIB (umur 87) Jakarta, Indonesia
Kebangsaan : Indonesia
Partai politik : Golkar
Suami/Istri : Ibu Tien Soeharto (almh.)
5.Presiden Baharuddin Jusuf Habibie
Baharuddin Jusuf Habibie
Baharuddin Jusuf Habibie (lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936; umur 72 tahun) adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatannya digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih pada 20 Oktober 1999 oleh suara MPR dari hasil Pemilu 1999. Dengan 373 suara MPR, Gus Dur mengalahkan calon presiden Megawati Soekarnoputri yang memperoleh 313 suara.
Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.[1]
Baik Alwi Abdul Jalil Habibie maupun R.A.Tuti Marini Puspowardojo bukan kelahiran Sulawesi Selatan. Alwi Abdul Jalil Habibie lahir pada tanggal 17 Agustus 1908 di Gorontalo dan R.A.Tuti Marini Puspowardojo lahir di Yogyakarta 10 November 1911. Ibunya anak seorang spesialis mata di Yogya, ayahnya bernama Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah. Ia bersaudara tujuh orang.[2]
Beliau belajar teknik mesin di Institut Teknologi Bandung tahun 1954. Pada 1955-1965 dia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingineur pada 1960 dan gelar doktor ingineur pada 1965 dengan predikat summa cum laude. Dia kemudian bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm di Hamburg, hingga mencapai puncak karir sebagai wakil presiden bidang teknologi. Pada 1973 kembali ke Indonesia atas permintaan mantan presiden Suharto.
Karir di Indonesia
Sebelum menjabat Presiden, B.J. Habibie adalah Wakil Presiden (14 Maret 1998 - 21 Mei 1998) dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto dan Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai Maret 1998. Pada masa jabatannya sebagai menteri ia pun diangkat menjadi ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Kasus Timor Timur
Setelah menjabat sebagai Presiden, B.J. Habibie dihadapi oleh masalah referendum provinsi Timor Timur (Sekarang Timor Leste), ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jejak pendapat kepada warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Namun akhirnya ia gagal mempertahankan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan lepasnya Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999.
Presiden Indonesia : ke-3
Masa jabatan : 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999
Wakil Presiden : Tidak ada
Pendahulu : Soeharto
Pengganti : Abdurrahman Wahid
Wakil Presiden Indonesia : ke-7
Masa jabatan : 14 Maret, 1998 – 21 Mei, 1998
Pendahulu : Try Sutrisno
Pengganti : Megawati Sukarnoputri (pada 1999)
Lahir : 25 Juni 1936 (umur 72) Pare-Pare, Sulawesi Selatan
Partai politik : Golkar
Suami/Istri : Ainun Habibie
Agama : Islam
6.Presiden Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid
KH Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940; umur 68 tahun; terlahir dengan nama Abdurrahman Addakhil[1]) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia adalah ketua Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wahid menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Masa kepresidenan yang dimulai pada 20 Oktober 1999 berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.
Abdurrahman Wahid menyelenggarakan pemerintahan dengan dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional.
Kehidupan awal
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[1] Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".[1]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, Bisri Syansuri, adalah pengajar Muslim pertama yang mengajarkan kelas pada wanita[2]. Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[3][4] Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[4] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.[4]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terlibat dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang didirikan oleh tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada disana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[5]. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pendidikan di luar negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrin Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas [6].
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan [7].
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Karir awal
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) [8], organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ***** Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya [9]. Pada tahun 1974, Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam. Sekali lagi, Wahid mengungguli pekerjaannya dan Universitas ingin agar Wahid mengajar subyek tambahan seperti pedadogi, Syariat Islam dan misiologi. Namun, kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar subyek-subyek tersebut. Sementara menanggung semua beban tersebut, Wahid juga berpidato selama ramadhan di depan komunitas Muslim di Jombang.
Nahdlatul Ulama
Awal keterlibatan
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga [10]. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap disana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya [11]. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.
Mereformir NU
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentum Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu berkata bahwa ia permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid, bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya [12].
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara [13]. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta Munas.[14]
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila.[15] Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia menerima hadiah dalam bentuk keanggotaan MPR. Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Meskipun hal ini mengasamkan hubungan Wahid dengan pemerintah, Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.[16] Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyedikan interpretasi teks Muslim.[17] Kritik menuduh Gus Dur mengharapkan merubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".
Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan didalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat.[18] Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.[19] Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai merubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.[20]
Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi.[21] Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.[22] Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kepresidenan
Kepresidenan Gus Dur terkenal akan perjalanan jarak jauhnya, termasuk ke tempat-tempat kontroversial. Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.[23]
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan keluar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.[24]
Wahid juga mengunjungi Irian Jaya dan Aceh, provinsi Indonesia yang memiliki banyak gerakan separatis, yang mengundang kontroversi. Gusdur juga menimbulkan kontroversi dengan kunjungannya ke Israel, negara yang tidak disukai banyak orang Indonesia.
Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Penghargaan
Wahid ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.[4]
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.[25] Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu.[26] Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan menanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.[26]
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.[27][28] Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.[27] Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.[27]
Presiden Indonesia : ke-4
Masa jabatan : 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001
Wakil Presiden : Megawati Soekarnoputri
Pendahulu : Baharuddin Jusuf Habibie
Pengganti : Megawati Sukarnoputri
Lahir : 7 September 1940 (umur 68) Jombang, Jawa Timur
Partai politik : Partai Kebangkitan Bangsa
Suami/Istri : Shinta Nuriyah
Agama : Islam
Situs resmi : http://www.gusdur.net
7.Presiden Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri
Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri (lahir di Yogyakarta, , 23 Januari 1947; umur 61 tahun) adalah Presiden Indonesia dari 23 Juli 2001 - 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita pertama dan presiden kelima di Indonesia. Namanya cukup dikenal dengan Megawati Soekarnoputri. Pada 20 September 2004, ia kalah dalam tahap kedua pemilu presiden 2004. Ia menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang Istimewa pada tahun 2001. Sidang Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi langkah Presiden Abdurrahman Wahid yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001. Sebelumnya dari tahun 1999-2001, ia adalah Wakil Presiden.
Kehidupan awal
Megawati adalah anak kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ibunya Fatmawati kelahiran Bengkulu di mana Sukarno dahulu diasingkan pada masa penjajahan belanda. Megawati dibesarkan dalam suasana kemewahan di Istana Merdeka.
Dia pernah menuntut ilmu di Universitas Padjadjaran di Bandung (tidak sampai lulus) dalam bidang pertanian, selain juga pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (tetapi tidak sampai lulus).
Karir politik Mega yang penuh liku seakan sejalan dengan garis kehidupan rumah tangganya yang pernah mengalami kegagalan. Suami pertamanya, seorang pilot AURI, tewas dalam kecelakaan pesawat di laut sekitar Biak, Irian Jaya. Waktu itu usia Mega masih awal dua puluhan dengan dua anak yang masih kecil. Namun, ia menjalin kasih kembali dengan seorang pria asal Mesir, tetapi pernikahannya tak berlangsung lama. Kebahagiaan dan kedamaian hidup rumah tangganya baru dirasakan setelah ia menikah dengan Moh. Taufiq Kiemas, rekannya sesama aktivis di GMNI dulu, yang juga menjadi salah seorang penggerak PDIP.
Karir Politik
Jejak politik sang ayah berpengaruh kuat pada Megawati. Karena sejak mahasiswa, saat kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, ia pun aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia).
1986
Tahun 1986 ia mulai masuk ke dunia politik, sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat.Karir politiknya terbilang melesat. Mega hanya butuh waktu satu tahun menjadi anggota DPR RI.
1993
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
1996
Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.
1997
Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu.
1999
Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.
Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain: memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373 banding 313 suara.
2001
Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI.
2004
Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.
Perjalanan karir
1. Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonsia (Bandung), (1965)
2. Anggota DPR-RI, (1993)
3. Anggota Fraksi DPI Komisi IV
4. Ketua DPC PDI Jakarta Pusat, Anggota FPDI DPR-RI, (1987-1997)
5. Ketua Umum PDI versi
6. Munas Kemang (1993-sekarang) PDI yang dipimpinnya berganti nama menjadi PDI Perjuangan pada 1999-sekarang
7. Wakil Presiden RI, (Oktober 1999-23 Juli 2001)
8. Presiden RI ke-5, (23 Juli 2001-2004)
Perjalanan pendidikan
1. SD Perguruan Cikini Jakarta, (1954-1959)
2. SLTP Perguruan Cikini Jakarta, (1960-1962)
3. SLTA Perguruan Cikini Jakarta, (1963-1965)
4. Fakultas Pertanian UNPAD Bandung (1965-1967), (tidak selesai)
5. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972), (tidak selesai)
Presiden Indonesia : ke-5
Masa jabatan : 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004
Wakil Presiden : Hamzah Haz
Pendahulu : Abdurrahman Wahid
Pengganti : Susilo Bambang Yudhoyono
Wakil Presiden Indonesia : ke-8
Masa jabatan : 1999 – 2001
Presiden : Abdurrahman Wahid
Pendahulu : BJ Habibie
Pengganti : Hamzah Haz
Ketua Umum : PDI Perjuangan
Sedang Menjabat
Mulai menjabat : 1999
Pendahulu : Tidak ada
Lahir : 23 Januari 1947 (umur 61) Yogyakarta, Indonesia
Partai politik : PDI-Perjuangan
Suami/Istri : Taufiq Kiemas
Agama : Muslim
Situs resmi : website resmi
8.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono
Jend. TNI Purn. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (lahir di Pacitan, Jawa Timur, Indonesia, 9 September 1949; umur 59 tahun) adalah mantan pensiunan jenderal militer Indonesia dan Presiden Indonesia ke-6 yang terpilih dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pertama kali. Yudhoyono menang dalam pemilu presiden September 2004 melalui dua tahapan pemilu presiden atas kandidat Presiden Megawati Sukarnoputri. Ia mulai menjabat pada 20 Oktober 2004 bersama Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden.
Yudhoyono yang dipanggil Sus oleh orang tuanya dan populer dengan panggilan SBY lahir di Pacitan, Jawa Timur pada 9 September 1949). Melalui amandemen UUD 1945 yang memungkinkan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, ia kemudian terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia pertama pilihan rakyat. Ia menjadi presiden Indonesia keenam setelah dilantik pada 20 Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Karier militernya terhenti ketika ia diangkat Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada tahun 1999 dan tampil sebagai salah seorang pendiri Partai Demokrat. Pangkat terakhir Susilo Bambang Yudhoyono adalah Jenderal TNI sebelum pensiun pada 25 September 2000. Selama di militer lebih dikenal sebagai Bambang Yudhoyono.
Keunggulan suaranya dari Presiden sebelumnya, Megawati Soekarnoputri pada pemilu 2004 membuatnya terpilih sebagai kepala negara Indonesia. Dalam kehidupan pribadinya, Ia menikah dengan Kristiani Herawati yang merupakan anak perempuan ketiga Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo (alm), komandan RPKAD (kini Kopassus) yang turut membantu menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965.
Latar belakang dan keluarga
Ia lahir di Pacitan, Jawa Timur pada 9 September 1949 dari anak pasangan Raden Soekotjo dan Siti Habibah. Seperti ayahnya, ia pun berkecimpung di dunia kemiliteran. Selain tinggal di kediaman keluarga di Bogor (Jawa Barat), SBY juga tinggal di Istana Merdeka, Jakarta. Susilo Bambang Yudhoyono menikah dengan Kristiani Herawati yang adalah anak perempuan ketiga Jenderal (Purnawirawan) Sarwo Edhi Wibowo (alm). Komandan militer Jenderal Sarwo Edhi Wibowo turut membantu menumpas PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1965. Dari pernikahan mereka lahir dua anak lelaki, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (lahir 1979) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lahir 1982).
Agus adalah lulusan SMA Taruna Nusantara tahun 1997 dan Akademi Militer Indonesia tahun 2000. Seperti ayahnya, ia juga mendapatkan penghargaan Adhi Mekayasa dan seorang prajurit dengan pangkat Letnan Satu TNI Angkatan Darat yang bertugas di sebuah batalion infantri di Bandung, Jawa Barat. Agus menikahi Anissa Larasati Pohan, seorang aktris yang juga anak dari mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Sejak pertengahan 2005, Agus menjalani pendidikan untuk gelar master-nya di Strategic Studies at Institute of Defense and Strategic Studies, Singapura. Anak yang bungsu, Edhie Baskoro lulus dengan gelar ganda dalam Financial Commerce dan Electrical Commerce tahun 2005 dari Curtin University of Technology di Perth, Australia Barat.
Pendidikan
* Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
* American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
* Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
* Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
* On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
* Jungle Warfare School, Panama, 1983
* Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman, 1984
* Kursus Komando Batalyon, 1985
* Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
* Command and General Staff College, Fort Leavenwort, Kansas, AS
* Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS
* Doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2004.
Karier militer
Tahun 1973, ia lulus dari Akademi Militer Indonesia (Akabri: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan penghargaan Adhi Makayasa sebagai murid lulusan terbaik dan Tri Sakti Wiratama yang merupakan prestasi tertinggi gabungan mental, fisik, dan intelek. Periode 1974-1976, ia memulai karier di Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad. Pada tahun 1976, ia belajar di Airborne School dan US Army Rangers, American Language Course (Lackland-Texas), Airbone and Ranger Course (Fort Benning) Amerika Serikat.
Kariernya berlanjut pada periode 1976-1977 di Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad, Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977), Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978, Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981, Paban Muda Sops SUAD (1981-1982. Periode 1982-1984, ia belajar di Infantry Officer Advanced Course (Fort Benning) Amerika Serikat.
Tahun 1983, ia belajar pada On the job training in 82-nd Airbone Division (Fort Bragg) Amerika Serikat, Jungle Warfare School (Panama, Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman pada tahun 1984, Kursus Komando Batalyon (1985) dan meniti karier di Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985), Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988), dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988).
Periode 1998-1989, ia Sekolah Komando Angkatan Darat dan belajar di US Command and General Staff College pada tahun 1991. Periode (1989-1993), ia bekerja sebagai Dosen Seskoad Korspri Pangab, Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994, Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995) serta Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (1995-1996). Pada tahun 1997, ia diangkat sebagai Kepala Angkatan Bersenjata dan Staf Urusan Sosial dan Politik. Ia pensiun dari kemiliteran pada 1 April 2001 oleh karena pengangkatannya sebagai menteri.
Lulusan Command and General Staff College (Fort Leavenwort) Kansas Amerika Serikat dan Master of Art (MA) dari Management Webster University Missouri ini juga meniti karier di Kasdam Jaya (1996), dan Pangdam II/Sriwijaya sekaligus Ketua Bakorstanasda. Karier militernya terhenti sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI) dengan pangkat Letnan Jenderal.
Karier politik
Tampil sebagai juru bicara Fraksi ABRI menjelang Sidang Umum MPR 1998 yang dilaksanakan pada 9 Maret 1998 dan Ketua Fraksi ABRI MPR dalam Sidang Istimewa MPR 1998. Pada 29 Oktober 1999, ia diangkat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi di pemerintahan pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Setahun kemudian, tepatnya 26 Oktober 1999, ia dilantik sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) sebagai konsekuensi penyusunan kembali kabinet Abdurrahman Wahid.
Dengan keluarnya Maklumat Presiden pada 28 Mei 2001 pukul 12.00 WIB, Menko Polsoskam ditugaskan untuk mengambil langkah-langkah khusus mengatasi krisis, menegakkan ketertiban, keamanan, dan hukum secepat-cepatnya lantaran situasi politik darurat yang dihadapi pimpinan pemerintahan. Saat itu, Menko Polsoskam sebagai pemegang mandat menerjemahkan situasi politik darurat tidak sama dengan keadaan darurat sebagaimana yang ada dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1959.
Belum genap satu tahun menjabat Menko Polsoskam atau lima hari setelah memegang mandat, ia didesak mundur pada 1 Juni 2001 oleh pemberi mandat karena ketegangan politik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR. Jabatan pengganti sebagai Menteri Dalam Negeri atau Menteri Perhubungan yang ditawarkan presiden tidak pernah diterimanya.
Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri melantiknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) pada 10 Agustus 2001. Merasa tidak dipercaya lagi oleh presiden, jabatan Menko Polkam ditinggalkannya pada 11 Maret 2004. Berdirinya Partai Demokrat pada 9 September 2002 menguatkan namanya untuk mencapai kerier politik puncak. Ketika Partai Demokrat dideklarasikan pada 17 Oktober 2002, namanya dicalonkan menjadi presiden dalam pemilu presiden 2004.
Setelah mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam dan sejalan dengan masa kampanye pemilu legislatif 2004, ia secara resmi berada dalam koridor Partai Demokrat. Keberadaannya dalam Partai Demokrat menuai sukses dalam pemilu legislatif dengan meraih 7,45 persen suara. Pada 10 Mei 2004, tiga partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dan Partai Bulan Bintang secara resmi mencalonkannya sebagai presiden dan berpasangan dengan kandidat wakil presiden Jusuf Kalla.
Ringkasan karir
* Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
* Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
* Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
* Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
* Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
* Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
* Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
* Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
* Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
* Dosen Seskoad (1989-1992)
* Korspri Pangab (1993)
* Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
* Asops Kodam Jaya (1994-1995)
* Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
* Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal November 1995)
* Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
* Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
* Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
* Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
* Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
* Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid)
* Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri) mengundurkan diri 11 Maret 2004
Penugasan
* Operasi Timor Timur (1979-1980), dan 1986-1988
Jenderal TNI (Purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah ditugaskan dalam sebuah operasi di Timor-Timur pada periode 1979-1980 dan 1986-1988 ini meraih gelar doktor (PhD) dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 3 Oktober 2004. Pada 15 Desember 2005, ia menerima gelar doktor kehormatan di bidang ilmu politik dari Universitas Thammasat Bangkok (Thailand). Dalam pidato pemberian gelar, ia menegaskan bahwa politik merupakan seni untuk perubahan dan transformasi dalam sebuah negara demokrasi yang damai. Ia tidak yakin sepenuhnya kalau politik itu adalah ilmu.
Penghargaan
* Tri Sakti Wiratama (Prestasi Tertinggi Gabungan Mental Fisik, dan Intelek), 1973
* Adhi Makayasa (lulusan terbaik Akabri 1973)
* Satya Lencana Seroja, 1976
* Honor Graduate IOAC, USA, 1983
* Satya Lencana Dwija Sista, 1985
* Lulusan terbaik Seskoad Susreg XXVI, 1989
* Dosen Terbaik Seskoad, 1989
* Satya Lencana Santi Dharma, 1996
* Satya Lencana United Nations Peacekeeping Force (UNPF), 1996
* Satya Lencana United Nations Transitional Authority in Eastern Slavonia, Baranja, and Western Sirmium (UNTAES), 1996
* Bintang Kartika Eka Paksi Nararya, 1998
* Bintang Yudha Dharma Nararya, 1998
* Wing Penerbang TNI-AU, 1998
* Wing Kapal Selam TNI-AL, 1998
* Bintang Kartika Eka Paksi Pratama, 1999
* Bintang Yudha Dharma Pratama, 1999
* Bintang Dharma, 1999
* Bintang Maha Putera Utama, 1999
* Tokoh Berbahasa Lisan Terbaik, 2003
* Bintang Asia (Star of Asia), 2005, oleh BusinessWeek
* Bintang Kehormatan Darjah Kerabat Laila Utama, 2006, oleh Sultan Brunei
* Doktor Honoris Causa, 2006, oleh Universitas Keio
* Darjah Utama Seri Mahkota, 2008, oleh Yang DiPertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin
Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah dicalonkan untuk menjadi penerima penghargaan Nobel perdamaian 2006 bersama dengan Gerakan Aceh Merdeka dan Martti Ahtisaari atas inisiatif mereka untuk perdamaian di Aceh.
Masa kepresidenan
MPR periode 1999-2004 mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 sehingga memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilu presiden dua tahap kemudian dimenanginya dengan 60,9 persen suara pemilih dan terpilih sebagai presiden. Dia kemudian dicatat sebagai presiden terpilih pertama pilihan rakyat dan tampil sebagai presiden Indonesia keenam setelah dilantik pada 20 Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia unggul dari pasangan Presiden Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi pada pemilu 2004.
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) sebagai prioritas penting dalam kepemimpinannya selain kasus terorisme global. Penanggulangan bahaya narkoba, perjudian, dan perdagangan manusia juga sebagai beban berat yang membutuhkan kerja keras bersama pimpinan dan rakyat.
Di masa jabatannya, Indonesia mengalami sejumlah bencana alam seperti gelombang tsunami, gempa bumi, dll. Semua ini merupakan tantangan tambahan bagi Presiden yang masih bergelut dengan upaya memulihkan kehidupan ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat.
Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk UKP3R, sebuah lembaga kepresidenan yang diketuai oleh Marsilam Simandjuntak pada 26 Oktober 2006. Lembaga ini pada awal pembentukannya mendapat tentangan dari Partai Golkar seiring dengan isu tidak dilibatkannya Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembentukannya serta isu dibentuknya UKP3R untuk memangkas kewenangan Wakil Presiden, tetapi akhirnya diterima setelah SBY sendiri menjelaskannya dalam sebuah keterangan pers.
Layanan SMS Presiden
Sekitar bulan Juni 2005, Presiden SBY memulai layanan pesan singkat (SMS) ke nomor telepon selulernya di 0811109949 namun esok harinya terjadi gangguan teknis karena banyaknya SMS yang masuk dan sekarang diganti cukup dengan SMS ke 9949 setelah itu SMS akan dipilah dan disampaikan ke presiden. Nomor 9949 adalah tanggal lahir beliau (9 September 1949).
Tanggal 28 Juni 2005, Presiden SBY mengirimkan SMS kepada masyarakat dengan nama pengirim Presiden RI yang berisi tentang pencegahan narkoba. Kebenaran SMS ini sudah dikonfirmasikan dan juru bicara Presiden menyatakan berbagai SMS akan menyusul.
Presiden Indonesia : ke-6
Sedang Menjabat
Mulai menjabat : 20 Oktober 2004
Wakil Presiden : Jusuf Kalla
Pendahulu : Megawati Soekarnoputri
Lahir : 9 September 1949 (umur 59) Pacitan, Jawa Timur, Indonesia
Partai politik : Partai Demokrat
Suami/Istri : Ani Yudhoyono
Agama : Islam
sumber:http://www.perawan.us/showthread.php?t=2653
Terima kasih telah membaca artikel: Ternyata Presiden RI ada 8 bukan 6..Silahkan baca artikel ©Blog Yhudiyuba yang lainnya!!!
{ 1 komentar... read them below or add one }
Sedikit menambahkan, bahwa bung Karno lahir di surabaya bukan di blitar. Hal ini bisa dilihat pada buku penyambung lida rakyat indonesia (biografi bung karno). Ths
Posting Komentar
Komentar sesukanya sob...
yang penting sopan dan membangun.........
Nyepam langsung di hapus....